Belajar dari Jepang Tentang Kebijaksanaan Beragama dan Berpolitik
- ridhosats
- Oct 21, 2018
- 3 min read

Ada orang bertanya kenapa negara seperti Jepang bisa maju. Padahal Jepang dikenal dengan negara sekuler dan masyarakatnya banyak yang tidak beragama. Hal ini berbeda jauh jika dibandingkan dengan negara kita tercinta, yakni Indonesia. Negara ini mempunyai kondisi yang selalu tidak stabil terutama dari segi politik terlebih isu-isu SARA. Indonesia harus belajar dari Jepang dan sangat perlu. Walaupun Jepang pernah menjajah kita tetapi ada sisi positif yang dapa kita ambil sebagai pelajaran.
Dahulu sekitar tahun 1800an dianalogikan Jepang masih berumur remaja. Saat remaja pasti kita mengalami masa pubertas dan masa alay. Jepang dulu juga pernah alay dan selalu kisruh keadaan politiknya serta antara agama Buddha dan Shinto pada tahun 1800an. Kenapa mereka bisa kisruh? Tepat sebelum era Restorasi Meiji yaitu saat dinasti Tokugawa mempimpin, intervensi politik terhadap agama sangatlah terasa. Merebut kekuasaan dengan agama, menyangkutpautkan agama dengan politik sehinhga kedua agama ini sudah biasa memakan asam garam situasi keadaan sosial yang selalu panas. Terlebih masuknya agama kristen di Jepang yang sedikit menimbulkan polemik baru juga terhadap situasi politik saat itu. Tetapi keadaan itu sudah diperbaiki semenjak restorasi Meiji bergulir. Walaupun beberapa tahun pasca restorasi meiji berlangsung, agama masih memiliki sedikit intervensi pada politik. Akan tetapi masyarakat Jepang sudah mulai tumbuh dewasa dan dapat mengerti bagaimana setiap individu harus memposisikan politik dan agama dengan baik. Disusul dengan para serikat umat beragama yang memberikan perjanjian bahwa ia beragama dengan sebagaimana mestinya dan mengutuk intervensi agama terhadap politik. Masyarakat Jepang mulai mandiri terhadap sikap bagaimana mengambil keputusan untuk memisahkan agama dengan kepentingan politik serta dari sanalah Jepang berubah menjadi negara sekuler. (Sumber sejarah Buku Seikatsu Kaizen by Susy Ong)
Sebenarnya kita perlu bersyukur akan hal ini, memang masyarakat Jepang dan negaranya sudah maju saat ini. Tapi tingkat stress masyarakat pun juga tinggi seiring keadaan hidup ekonomi yang tinggi pula. Jika kita sedang mengalami masa keterpurukan, kita masih memiliki tuhan kita masing-masing. Berbeda dengan masyarakat Jepang yang entah bagaimanakah jika ia mengalami keputusasaan. Penulis mengutip data melalui sumber menurut Kementerian Kesehatan Jepang dalam pemberitaan Kompas.com mengungkap, pada tahun 2016 lalu tercatat angka kematian akibat bunuh diri mencapai 21.897 orang. Jumlah ini terbilang menurun dari catatan tahun 2011 dan 1994 yang menembus angka lebih dari 30.000 orang. Dapat disimpulkan kasus kematian dengan cara bunuh diri di Jepang sangat tinggi dikarenakan tingkat stress dan menjadikan bunuh diri sebagai pelarian untuk menyelesaikan masalah. Saya setidaknya dapat bersyukur dalam keadaan tersebut walau negara kita tercinta selalu kisruh dalam masalah agama dan politik namun masyarakat kita masih memungkinkan untuk terselamatkan dari cara bunuh diri dengan mendekatkan diri kepada tuhan masing-masing.
Akan tetapi perlu diingat bahwa keadaan tidak akan bisa jika tetap seperti ini dengan situasi politik yang selalu kacau. Apakah kita hanya akan pasrah dengan keadaan situasi politik yang tidak stabil sehingga menghambat kemajuan bangsa? Tentunya pasti tidak, kita harus tetap berusaha dan berikhtiar bagaimana bangsa kita agar ikut maju seperti Jepang bahkan lebih baik dari Jepang, menjadi negara yang maju dari segala sisi baik ekonomi, sosial, politik, kesehatan, pendidikan, infratruktur serta masyarakatnya maju tetapi tetap memiliki sisi religius. Sangat memungkinkan negara kita maju dan menyelaraskan harmoni perbedaan. Untuk itu kita harus bijaksana dalam melakukan urusan tersebut dapat membedakan bagaimana peran agama dan politik seharusnya.
Saya cukup heran dengan para kelompok elit politik yang mengatasnamakan agama, dan mempengaruhi simpatisannya dengan cara memprovokasi atas nama agama pula, tetapi dibalik itu terdapat kepentingan lain selain hanya berbicara agama didepan masyarakat. Apakah hal itu, ya benar hal itu adalah Kekuasaan dan Uang. Sangat disayangkan peran agama yang suci harus dicampur tangankan dengan hal yang keji yaitu merebut kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Jadi sebenarnya siapakah tuhan mereka (para kelompok elit beserta pengikutnya)? Tuhan yang mereka percayai di dalam kepercayaannya atau Tuhan mereka adalah Kekuasaan, dan Uang? Coba saja anda jawab sendri. Sekian terimakasih.
コメント